Sabtu, 22 September 2012

Reformasi Birokrasi 1

Kata reformasi birokrasi, rasanya sudah sering kita dengar, tapi apakah kita paham dengan maksud  atau arti kata tersebut? Kemudian tujuan dan sasaran reformasi birokrasi apakah sudah benar dan yang penting adalah apakah benar-benar dijalankan dan dicapai?
Di negeri ini sudah terlalu sering dan mungkin telah menjadi budaya bahwa para birokrat kita ini hanya pintar ngomong, sedangkan kerja atau tindakannya kurang, sehingga sesuai dengan istilah "talk too much do nothing".  Kalau politisi memang kerjanya ngomong, sayang sering asal ngomong.

Warga Jakarta telah lama bosan dengan birokrasi yang ada di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota, dan hal ini dinyatakan melalui pemilihan kepala daerah (Gubernur dan Wakil Gubernur), dengan memenangkan pasangan Joko Widodo dan Ahok. Kedua tokoh ini sudah terkenal dengan prestasi mereka ketika menjabat sebagai kepala daerah, antara lain dengan menyederhanakan birokrasi, mengutamakan layanan kepada masyarakat. Sehingga meskipun dikeroyok banyak partai besar, dan diserang oleh kampanye sara serta fitnah, kemenangan mereka tidak terbendung.
Kemenangan pasangan Jokowi Ahok ini betul-betul diharapkan olah orang banyak, tetapi tidak oleh koalisi partai yang sedang memerintah. Pengusaha yang tergabung dalam Kamar Dagang Indonesia (Kadin), biasanya mendukung calon petahana "incumbent", karena mereka ingin aman dan tidak terjadi gejolak. Rupanya para pengusaha ini sudah patah arang dan ikut mendorong karyawannya untuk memilih calon pembaharu. Menariknya para karyawan tersebut merespon dengan mengatakan: tidak perlu disuruh, kami memang akan memilih Jokowi.

Sebenarnya sederhana saja keinginan masyarakat ini terhadap kepala daerah, yaitu layanan yang menyenangkan dan mudah, tidak ada pungli dan upeti, transparan serta cepat. Anggaran pemerintah provinsi DKI ini sangat besar dibandingkan dengan anggaran provinsi lainnya di Indonesia, yaitu sekitar Rp. 30 triliun, sehingga tidak ada alasan kesulitan dana.
Di hampir seluruh kementerian, lembaga, institusi dan pemerintah daerah, banyak yang pegawai yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Banyak prosedur yang panjang yang menyita waktu dan tentu saja menghabiskan biaya. Belum lagi mental sebagian para birokrat yang ingin dilayani. Lho seharusnya mereka ini melayani rakyat! Padahal mereka dibiayai oleh anggaran negara, pajak yang dibayarkan oleh warga negara, sebagian digunakan untuk menggaji mereka.
Ketika penulis menjadi instruktur tata kepemerintahan yang baik (good governanse), sering menyamakan pemerintah dengan sebagai kontraktor, sedangkan rakyat adalah pengguna atau pemilik, karena itu presiden dan kepala daerah selaku pimpinan "kontraktor" harus melaksanakan kontrak yang berisi keinginan rakyat dan juga janji para pemimpin itu. Kalau mereka cidera janji atau tidak mampu melaksanakan tugasnya, ya tidak dipilih lagi, atau kalau perlu dilengserkan.

Para birokrat ini rupanya tidak dilatih untuk melayani, tetapi dilatih bagaimana memerintah, memberi instruksi, pengarahan serta memimpin. Hal itu bisa diterima kalau dilakukan terhadap bawahannya.
Nah kalau kepada masyarakat ya terbalik, mereka adalah pelayan. Barangkali perlu materi seperti menyapu, mengepel, menyediakan makanan pada pelatihan pegawai negeri sampai jenjang yang tinggi seperti "SPAMEN" dimasukkan dalam kurikulum, sebagaimana dilakukan dalam pelatihan karyawan Mc Donald di seluruh dunia. Manager Mc Donald pernah jadi pelayan. 
Fasilitas yang diterima para birokrat ini juga berlebihan, rumah jabatan atau rumah dinas dengan kelengkapannya, mobil dinas, pakaian dan ruang kerja  yang wah, terutama pada pimpinan.  Anggaran birokrasi itu tidak sedikit, karena ternyata belanja kantor dan belanja pegawai itu menyita anggaran yang lumayan besar, sedang manfaatnya perlu dipertanyakan.

Pembicaraan tentang reformasi birokrasi ini akan terdiri dari beberapa tulisan yang akan ditayangkan tidak berurutan, dan ditinjau dari berbagai aspek.         

1 komentar: