Senin, 10 Juni 2013

INDONESIA HARUS DIPAKSA UNTUK EFISIEN.


Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Kalimat bijak tersebut ternyata sangat akurat sejak dahulu maupun sekarang. Mereka yang menerapkannya, mudah-mudahan bisa bercerita banyak. Apalagi kalau pandai bekerja dan pandai berhemat, mungkin sudah menjadi orang kaya. Kalau dilakukan oleh seluruh bangsa dan negara, maka Indonesia bisa menjadi 5 negara terkaya.

Sayangnya semua itu masih terbatas mimpi. Perilaku boros, malas dan aji mumpung, masih dominan, di negeri tercinta ini. Sikap senang dimanja, dilayani, tidak mau kerja keras, egois, dan pengemis, ternyata ada dimana-mana, dari rakyat kebanyakan sampai pejabat tertinggi.

Pada era orde baru, penguasa melakukan politik yang strategis dengan mengenyangkan perut rakyat, sehingga tidak ada rakyat yang protes atau berbeda pendirian dengan penguasa. Apabila ada yang melawan, akan disikat. Disikat, artinya tidak selalu dipenjara, tetapi untuk mahasiswa juga bisa berarti disekolahkan ke luar negeri sampai tingkat doktor agar tidak menggangu dan bisa dicuci otaknya. Karena itu pembangunan fisik dan korupsi berjamaah bisa berjalan tanpa halangan.

Era reformasi yang diharapkan sebagai koreksi dan introspeksi perjalanan hidup bangsa, ternyata hanya menjadi ajang pergantian penguasa dan kelompok, bukan perubahan sistem dan karakter bangsa, sehingga masih jauh dari tujuan negara adil dan makmur.
Orientasinya masih sama, yaitu uang dan kekuasaan. Partai-partai yang sekarang mendapat porsi kekuasaan lebih besar, berlomba untuk mendapat dana yang lebih banyak agar bisa mendapatkan kekuasaan lebi besar lagi. Pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton merangkap korban.

Meneruskan politik orde baru, maka rakyat perlu disubsidi melalui banyak komoditi dan layanan.
Ternyata yang disubsidi bukan rakyat miskin, tetapi harga dan biaya, sehingga subsidi tadi banyak dinikmati oleh orang kaya/mampu. Bahan bakar minyak (BBM) disubsidi sehingga menjadi termurah di dunia setelah negara kaya minyak, padahal Indonesia sudah menjadi negara pengimpor minyak.
Orang kaya menggunakan mobil mewah dengan mesin berkapasitas besar yang boros, dan ternyata memakai BBM premium, artinya mereka menikmati subsidi yang besar dibanding mereka yang naik motor roda 2.
Pertanian mendapat subsidi melalui harga pupuk, namun perkebunan besar dengan berbagai cara juga bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Nyatanya petani (terutama di Jawa) tetap saja miskin dan susah hidup, karena selain lahannya makin sempit, juga tidak pernah memperoleh keuntungan dari harga beras yang wajar. Kalau harga beras agak naik sedikit sudah digelontor dengan beras impor.
Mengapa tidak dibiarkan harga beras sekitar Rp. 10.000,- per kilogram, agar kita tidak makan nasi terlalu banyak, bisa obesitas yang membahayakan kesehatan. Sedangkan masyarakat yang tidak mampu, dapat diberikan Raskin. Kalau harga beras bisa lebih tinggi, maka petani berkesempatan menjadi tidak miskin dan .bersemangat membuka lahan sawah baru karena menguntungkan.

Adalah menyakitkan hati, melihat anggota DPR, DPD, DPRD dan pejabat pemerintah jalan-jalan keluar negeri memakai milyaran uang rakyat untuk sesuatu yang bisa diperoleh melalui internet atau literatur. Ada rombongan pejabat yang melakukan perjalanan dengan biaya besar ke Cuba hanya untuk sosialisai yang diikuti tidak lebih dari 100 orang. Mengapa tidak menugasi staf kedutaan dengan mengirim materi saja, atau dengan memanfaatkan teknologi informasi. Perlu ada contoh efisiensi dengan mewakilkan penerimaan penghargaan internasional kepada Duta Besar, tidak harus datang sendiri menghabiskan anggaran yang besar. Hanya yang sangat penting dan berdampak pada ekonomi nasional saja yang bisa dihadiri secara selektif.

Ketika daging sapi, lombok, bawang putih, kedelai dan lain-lain menjadi langka dan mahal, mestinya kita mengurangi konsumsi komoditi tersebut sekaligus mendorong produksi dalam negeri, bukan melakukan impor yang rawan korupsi. Akhirnya semua upaya meningkatkan produksi akan sia-sia, karena dihantam dengan barang impor yang lebih murah. Devisa untuk impor bisa dihemat dan dipakai untuk cadangan.
Orang-orang tertentu (termasuk oknum anggota DPR) ada yang memperoleh DO (delivery order) solar dengan harga subsidi dari Pertamina, kemudian dijual lagi dengan harga normal ke perusahaan swasta, bahkan diexpor ke Malaysia. Seharusnya BBM bersubsidi hanya dijual melalui SPBU (stasiun pengisian bbm umum). Mereka yang menyalahgunakan BBM bersubsidi ini termasuk yang menentang kenaikan harga BBM dengan mengatasnamakan rakyat.
 
Biaya dan harga yang murah karena subsidi hanya membuat masyarakat malas, boros, dan tidak memberi kesempatan tumbuhnya industri alternatif. Bagaimana enerji alternatif bisa berkembang kalau harus bersaing dengan enerji carbon (BBM) yang murah karena disubsidi.
Subsidi enerji yang lebih dari Rp. 300 triliun bisa dipakai membuka lahan pertanian baru, jalan baru, gedung sekolah yang lebih baik disamping bantuan untuk masyarakat miskin.
Semoga tumbuh kesadaran diantara kita untuk menerapkan perilaku yang efisien tidak malas dan tidak manja.